Kabar Trenggalek – Citra pemerintah pada awal tahun 2023 sudah mendapat sorotan dari berbagai pihak. Sebab, pemerintah menerbitkan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti (Perpu) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja , tanpa mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), menyebut pemerintah ugal-ugalan terbitkan Perpu UU Cipta Kerja. Keberadaan Perpu UU Cipta Kerja mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat (cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
PSHK mengkritik pernyataan pemerintah bahwa kehadiran Perpu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum.
“Pernyataan ini tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna,” tulis PSHK melalui rilis resminya.
Menurut PSHK, penerbitan Perpu seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi yang bermakna. Penerbitan Perppu Ciptaker ini merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan publik dalam proses legislasi.
Tiga Corak Utama Proses Legislasi Sejak 2019
1. Publik Berhadapan dengan Pemerintah
Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan Pemerintah dalam proses legislasi. Pesan ini terang dan jelas apabila memerhatikan bahwa dalam setiap dinamika dalam proses pembentukan undang-undang, kerap terlontar kalimat “kalau menolak RUU ini, silakan maju ke MK” dari pemerintah.
Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan publik sebagai lawan; padahal rakyat-lah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang.
Pengenyampingan partisipasi publik terlihat dari program “sosialisasi” yang praktiknya adalah safari komunikasi satu arah dari pihak Pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat partisipasi.