
Kabar Trenggalek – Para akademisi yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Akademik, menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan anti sains. KLHK menolak hasil penelitian tentang penurunan populasi orangutan serta melarang aktivitas penelitian luar negeri.
Tim Advokasi Kebebasan Akademik, melalui rilisnya, menyampaikan latar belakang penilaian kebijakan anti sains KLHK itu berawal dari 19 Agustus 2022 lalu. Pada Hari Orangutan Sedunia tersebut, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, menyebutkan bahwa populasi orangutan Sumatera, Tapanuli dan Kalimantan jauh dari kepunahan dan justru akan terus bertambah.
Merespons pernyataan Menteri LHK, pada 15 September 2022, Erik Meijaard dan Julie Sherman menulis opini berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends” di the Jakarta Post. Menurut Meijaard dan Sherman di dalam artikel tersebut, spesies orangutan justru mengalami penurunan, dan tidak ada data yang menunjukkan tren sebaliknya.
“Dalam artikel itu, Meijaard dan Sherman juga berupaya membuka ruang dialog untuk mendiskusikan perbedaan temuan data populasi orangutan itu. Akan tetapi, KLHK tidak merespons upaya dialog itu,” jelas Tim Advokasi Kebebasan Akademik.
Baca: Polisi Jadi Beking Tambang Ilegal, JATAM: Negara Tak Punya Kendali Sumber Daya Alam Indonesia
Menanggapi artikel Meijaard dan Sherman, KLHK telah menerbitkan surat Pengawasan Penelitian Satwa tertanggal mundur pada 14 September 2022, yang menyatakan bahwa temuan Para Peneliti mengenai penurunan populasi orangutan sebagai temuan dengan “indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK”.
Sehingga, KLHK memerintahkan Kepala Balai Besar/Balai Taman Nasional dan Kepala Balai Besar/Balai SDA yang pada pokoknya untuk tidak memberikan pelayanan dan tidak melayani permohonan para peneliti asing atas nama Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl dan Serge Wich dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Melihat sikap KLHK tersebut, Tim Advokasi Kebebasan Akademik melayangkan surat keberatan administratif kepada Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri LHK dengan beberapa alasan.
Pertama, bahwa surat KLHK tersebut adalah bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik serta wujud kontrol kekuasaan atas produksi pengetahuan yang melanggar prinsip kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.
Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta melanggar Komentar Umum No. 13 Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (“Ekosob”) yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.
Kedua, surat KLHK nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 adalah bukti tidak digunakannya riset sebagai basis pembuatan kebijakan dan hanya bisa menerima hasil penelitian yang sesuai dengan selera, kehendak dan kepentingan pemerintah.
Keengganan KLHK untuk menggunakan tradisi ilmiah dalam menyatakan ketidaksetujuan tersebut adalah bentuk sikap anti-sains yang bertentangan dengan narasi yang kerap didengungkan pemerintah sendiri mengenai pembuatan kebijakan berbasis riset.
Ketiga, surat KLHK tersebut telah bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu asas kemanfaatan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, serta kepentingan umum. Surat tersebut tidak memiliki ratio legis yang harmonis dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Selain itu, tindakan mengeluarkan SK tersebut adalah bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, membatasi ruang kebebasan akademik yang melanggar prinsip kelima Surabaya Principle of Academic Freedom, yaitu melakukan pembatasan dan penggunaan otoritas di luar lingkup kewenangan yang mana merugikan kepentingan umum dan menghambat ruang partisipasi.
“Mengingat bahwa ilmu bersifat relatif, perbedaan dalam kerangka keilmuan adalah usaha untuk menemukan kebenaran yang baru lewat diskursus ataupun dialektika. Maka, perbedaan pemikiran seharusnya ditanggapi dengan diskusi, perdebatan dan upaya saling mengkritik dalam kerangka keilmuan, bukan menyerang pribadi-pribadi karena tidak suka,” tulis Tim Advokasi Kebebasan Akademik.
Baca: Lokasi Pertama Tambang Emas PT SMN Dilanda Longsor, 8 Rumah Tertimpa Tanah
Menurut Tim Advokasi Argumentum ad hominem dalam SK tersebut, menghambat proses perkembangan keilmuan dan perlindungan terhadap orangutan secara optimal.
Pada akhir surat keberatan administratif tersebut, Tim Advokasi Kebebasan Akademik meminta dan mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk:
Bagi Anda yang ingin turut mendukung kebebasan akademik untuk menyuarakan penurunan populasi orangutan dan mendesak pemerintah supaya menangani persoalan tersebut, mari tandatangani petisi ini: STOP CEKAL PENELITI
Tim Advokasi Kebebasan Akademik terdiri dari: